Selasa, 07 Februari 2012

budaya kreatif di sekolah


Oleh Dr Khoiruddin Bashori
Psikolog Pendidikan
Dewasa ini semua pemimpin bisnis, industri, dan pendidikan mendorong pengembangan pribadi yang kreatif dan inovatif.
Dalam suasana penuh persaingan seperti sekarang, pendidik di seluruh dunia meneliti ulang metode pembelajaran untuk menghasilkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kreativitas. Tumbuhnya kreativitas ditandai dari kemampuan berpikir divergen, solusi, dan inovatif terhadap masalah, serta munculnya ide-ide baru yang segar.
Tidak mudah untuk menumbuhkan iklim kreativitas. Di satu sisi kreativitas masih sering diremehkan pemangku pendidikan. Sementara itu, di sisi lain gempuran pembunuh berdarah dingin bernama “ujian nasional” selalu menghantui.
Ketakutan tidak lulus ujian nasional ikut menghambat budaya kreatif di sekolah, yang bercirikan keragaman, kreasi mandiri, dan ekspresi potensi pribadi. Ujian nasional sampai tahap tertentu memang berhasil memacu kemampuan berpikir konvergen. Namun, akan membunuh kemampuan berpikir divergen siswa.
Budaya Kreatif
Agar kreativitas menjadi budaya sekolah, Sloane (2007) menyarankan 11 langkah penting: Don’t tell, ask; praise the innovators, focus on what went right, make it fun, welcome failure, fear success, set puzzles, use the right language, make your own “products” obsolete; trust; dan empower “employees”.
Pendidik yang inovatif selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan sering mengajukan pertanyaan. Bandingkan dengan kebanyakan kita, yang lebih suka menerangkan daripada bertanya dan mendengarkan. Ada tiga alasan untuk itu, pertama telanjur nyaman, kedua terlalu sibuk dengan rutinitas, dan ketiga malu dianggap bodoh kalau bertanya. Untuk membangun budaya inovatif kita perlu memastikan setiap orang dapat bertanya dan menindaklanjuti pertanyaan itu.
Jika hendak mengubah budaya organisasi, salah satu cara terbaik dengan memuji perilaku yang ingin kita saksikan. Dorong siswa agar lebih berani bereksperimen, mengambil risiko, dan menerima tantangan moderat. Banyak orang memilih menghindari risiko karena takut gagal. Dengan kata lain, jika kita ingin menjadi inovatif, kita harus mencoba lebih banyak hal dan siap mengatasi beberapa kemunduran. Pendidik tanpa disadari cenderung lebih memusatkan perhatian pada apa yang salah, bukan apa yang sudah benar. Banyak pertemuan dilakukan, hanya untuk mencari apa yang salah, meskipun ingin memperbaikinya.
Situasi saling menyalahkan dan berdebat seperti ini biasanya menjadi negatif dan hanya mendatangkan frustrasi. Lebih baik pendekatannya diubah ke arah yang positif. Bila pusat perhatian kita pada hal-hal yang negatif dihilangkan, peluang yang disajikan akan lebih positif. Dengan berfokus pada kekuatan dan kemampuan, warga sekolah akan dapat melihat peluang yang lebih positif.
Cara lain menumbuhkan budaya kreatif adalah dengan membuat sekolah tempat yang hebat untuk bersenang-senang. Humor, main-main, dan canda tawa sangat dekat dengan kreativitas. Suasana sekolah yang kaku dan birokratis akan menghambat kreativitas. Sangat bagus untuk berhenti sejenak dan keluar dari zona nyaman. Dengan membuat situasi yang menyenangkan berarti mendobrak hambatan, kepalsuan hierarki, dan memberdayakan orang lain untuk berani mengeluarkan pikiran bebas.
Bahkan, perusahaan raksasa seperti Google, yang memiliki semboyan innovation is in our bloodline mendorong stafnya untuk menghabiskan 20% waktu mereka pada fun personal projects, yaitu proyek yang menyenangkan diri sendiri, sebuah pendekatan yang memacu inovasi besar, seperti Google Earth, Froogle, dan Gmail.
Jangan Takut Gagal
Cara terbaik menguji ide dalam banyak hal bukan dengan menganalisisnya, tetapi mencobanya. Institusi yang berani mengimplementasikan banyak ide mungkin akan mengalami banyak kegagalan, tetapi kemungkinan untuk menuai keberhasilan juga besar. Dengan terus mencoba berbagai inisiatif berarti kita telah meningkatkan peluang bagi warga sekolah untuk menjadi bintang.
Seperti kata Tom Kelley, “Sering gagal cepat berhasil” (fail often to succeed sooner). Soichiro Honda, pendiri Honda juga mengatakan, “Banyak orang bermimpi sukses. Sukses hanya dapat dicapai melalui kegagalan berulang-ulang dan introspeksi”.
Ini berarti, sekolah tidak hanya perlu mengapresiasi warga yang berprestasi, tetapi juga menghormati mereka yang gagal. Banyak keberhasilan besar dimulai dari kegagalan. Columbus gagal ketika berangkat untuk mencari rute baru ke India. Dia malah menemukan Amerika, dan karena ia pikir itu adalah India, penduduk asli Amerika disebutnya Indian.
Meskipun demikian, sukses juga dapat menjadi musuh inovasi. Ketika semua hal berjalan dengan baik, kita dapat menjadi buta, terlena. Kemapanan, kenyamanan, sering menjadi musuh kreativitas. Terlalu banyak contoh, sekolah unggulan yang akhirnya menjadi pecundang. Sebab itu, lingkungan berubah dengan cepat. Jika insitusi tidak antisipatif menyikapi perubahan, nasib baik dapat berbalik.
Tidak elok membiasakan diri dengan ancaman. Lebih baik menggunakan ungkapan positif ketika mengarahkan. Pilih kata-kata yang mendukung, konstruktif, dan inspiratif. Alih-alih memberikan instruksi, ajukan saja pertanyaan yang memacu ide dan masukan. Dengan demikian, kita dapat menggairahkan warga sekolah untuk menjadi positif dan kreatif. Selain itu, pemimpin inovatif juga mempercayai orang lain. Memberi warga sekolah kesempatan untuk mencoba ide-ide baru.
Bagaimana kita dapat membangun kepercayaan tim? Mulailah dengan jujur berdialog. Tanyakan apa yang mereka inginkan dan seberapa banyak kebebasan atau pengawasan yang mereka idealkan. Tunjukkan bahwa kita tertarik untuk membantu dan mendukung mereka. Bersikaplah jujur dan perlakukan orang secara adil. Jadilah bijaksana, antara lain dengan mengakui kegagalan kita.
Menurut Kyung (2008), 18%—24% dari anak putus sekolah diidentifikasi sebagai anak berbakat dan berkemampuan tinggi. Siswa berbakat seperti ini sering menghadapi banyak tantangan karena sekolah mengandalkan cara klasik. Ternyata guru lebih memilih siswa yang menerima otoritas, penurut, bertanggung jawab, dan konformis. Anak-anak yang sangat kreatif dan cerdas, yang dalam banyak hal nonkonformis dan tidak konvensional, dipandang oleh guru sebagai lebih sulit diajar dan dikelola.
Banyak program untuk pendidikan anak berbakat yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendek kata, diperlukan strategi baru berbasis penelitian untuk mendorong kreativitas warga sekolah. (Sumber: Lampung Post, 7 Pebruari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar